MASIGNASUKAv102
1413081431726134975

Menjajaki Senja di Pucuk Candi Borobudur!!!

Menjajaki Senja di Pucuk Candi Borobudur!!!
Add Comments
Senin, 15 Juli 2013


Belum menginjakkan kaki ke stupa paling tinggi pun saya sudah terpana dengan jejeran gunung yang samar samar berdiri berdampingan mengelilingi kompleks stupa termegah dan terbesar versi UNESCO ini.  Deretan Perbukitan Menoreh, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu yang berdiri tegak mengitari candi seolah menjadi penjaga yang melindungi keberadaan candi dengan 9 fakta mengagumkan ini.

Ya, 9 fakta itu di antaranya adalah Candi Borobudur dibangun selama 75 tahun di bawah pimpinan arsitek Gunadarma, tentu saja tanpa bantuan komputer!! Berarti turun temurun! Jelas belum ada kertas atau pun pensil apalagi serutan dan penghapus! Luar biasa leluhur Jawa!

Dan mata saya tak henti hentinya melayang layang ke segala penjuru. Matahari yang menyengat tak begitu saya hiraukan, kalau memang sudah coklat ya sudah nggak papa...

---
2 JULI 2013!!!!

 Setelah jalan jalan ala gembel dan ke Jogja hanya bermodalkan uang seadanya beserta segepok cinta tempo hari, sekarang saya kebagian kesempatan lagi untuk bisa menorehkan kenangan di kota istimewa ini. Kali ini, saya ngejogja ala koper! Walau pun saya hanya ‘menumpang’ koper orang lain. Ya, diajak sepupu saya, bulek (tante, red), bersama om dan tante, saya bisa menghirup udara Jogja. Lagi!!

Kok Jogja mulu sih? Nggak ada variasi gitu?

Sabar ya, one day I will... hehehe

Dan destination di hari pertama ini adalah berjumpa dengan 504 patung Buddha, 72 stupa terawang dan 1 stupa induk bersama 2672 panel relief yang bila disusun berjajar akan mencapai panjang 6 kilometer! Subhanalloh Allohu Akbar!

Setelah mengisi perut dengan paha ceribel ayam di depan areal obyek wisata Bororbudur, kita pun memarkir mobil dan turun. Alih alih ingin berbelanja saja di luar areal dan tidak mau menaiki stupa karena terbentur usia, akhirnya dengan membayar 30ribu per kepala, saya, sepupu cantik saya bernama Tata, dan Om saja yang masuk. Bulek dan Tante saya menyalurkan hobi mereka sebagai ibu ibu pada umumnya.

Begitu memasuki areal Borobudur, kita harus berjalan dulu beberapa meter. Gajah gajah perkasa berjalan jalan di wilayah kekuasaannya dan siap untuk ditungganggi oleh pengunjung.

Sebagai awalan, Tata berfoto bersama Gareng, Petruk dan Semar wanna-be.


Yuk mari jalan lagiiiiii!!!

Sayanya yang gemar jalan jalan, hati saya gegap gempita. Samar samar pucuk Borobudur terlihat di balik rimbunnya pepohonan di areal ini. Terakhir saya ke sini itu waktu saya masih sangat kecil. SD kayaknya, waktu itu saya masih polos dan belum terkontaminasi apa apa. Dan setelah belasan tahun tidak bertemu, akhirnya saya bisa bersua lagi. Alhamdulillah!!

Borobudur, Meykke is comiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing!!!!

credit

“Bagi yang sudah dewasa, diharapkan memakai kain batik dahulu yang bisa diambil di sekretariat. Tidak dipungut biaya. Silahkan bisa memakai kain yang bisa diambil dahulu.”

Dan akhirnya kita berdua tanpa Tata yang masih kecil dan nggak perlu pakai memilah milah kain mana yang sekiranya cucok sekali.

Dan tanpa ragu dengan segenap pede saya melilitkan kain itu ke badan saya.

“Mbak, itu nggak perlu dua kali mbak, sekali aja..”, ujar salah satu bapak pengurus.

Lalu saya melihat sekeliling saya dan mendapati semuanya hanya dililit sekali, dan saya dua kali. Karena apa?? Karena tubuh saya kerempeng langsing sekali. Ndak papa.... hidup memang begini...

Saya nya nggak sabar ingin sekali bisa segera melepaskan rindu saya padanya candi yang berdiri megah yang dibangun antara abad ke-8 dan ke-9, 300 tahun sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 400 tahun sebelum katedral-katedral agung di Eropa!! Pinter mana berarti hayo??

Jalan jalan ini sekaligus menghapus kekecewaan akan masa lalu saya. Di masa lalu saya, kira kira di bulan Mei kemarin saya ngidam ingin ke sini dan melihat gempitanya Waisak di sini. Hanya saja, karena saya hanya punya cinta nggak punya kekuatan untuk ke sana seorang diri dan juga nggak ada yang ngajak, jadilah saya hanya meratapi nasib di rumah. Dan sekarang, I am here!!!



Tangga demi tangga kita daki. Tata yang badannya masih kecil agak kewalahan meladeni tanjakan tangga yang tinggi tinggi. Belum belum Tata udah melambai ke kamera,

“Bentar mbak, capek mbak...istirahat dulu aja sama foto foto mbak...”,

“Tata memang pintar..”, batin saya.

Dan beberapa kali saya memencet tombol shutter dan membidiknya. Dianya berpose, memegang topi, badan melengkung sedemikian rupa, senyum lebar luar biasa, berkacak pinggang, handstand, backroll,  lompat harimau, segala macam pose dia peragakan.





Kembali kita meniti kehidupan tangga tangga yang lumayan curam ini sambil berpegangan pada pegangan besi yang memang ada di setiap sisinya.

Kalau kalian tanya pada petugas mana pun tentang jumlah stupa lah, jumlah tangga, jumlah lantai, atau apa pun yang berkaitan dengan Borobudur ini, pasti mereka tahu. Mungkin mereka les dulu. Banyak petugas yang tersebar di banyak titik di candi Borobudur sambil membawa toa.

“Ya, yang pake baju merah..yang pake baju merah tolong turun dan jangan berdiri di situ. Yang baju merah...turun jangan berdiri di situ, ayo baju merah, mohon turun...-buajumerahturunwoyyyyy-..”

Tugas mereka adalah menjaga keutuhan candi Borobudur, saudara saudara.

Mereka berkeliling dan menegur para pengunjung yang kedapatan memanjat, atau pun berdiri dan duduk di stupa stupa yang memang sudah rapuh akibat semburan wedus gembel Gunung Merapi tempo dulu itu yang juga menewaskan Mbah Maridjan.




Tau khan dulu itu Candi Borobudur dan juga Prambanan tertutup abu sangat tebal dan butuh waktu agak lama untuk bisa merenovasi lagi. Sayang kalau warisan leluhur bahkan warisan dunia yang dibuat oleh mbah mbah kita yang luar biasa hancur tergerus waktu. Kayak cinta aja...

Dan akhirnya setelah berjuang sedemikian rupa, kita bisa berhasil menginjakkan kaki di lantai teratas dengan stupa induk yang menjulang tinggi. Dan tinggal melayangkan pandang ke segala penjuru, pemandangan terpampang indah dan cantik!

Berhubung kali ini liburan sekolah, manusia ada di mana mana! Benar benar ramai sekali sampai macet mau ke atas aja. Baru kali ini saya naik candi kok macet. Luar biasaaaa....

Sambil menunggu Om berdoa, saya asyik duduk di pinggiran stupa induk sambil mengabadikan pemandangan.












“Mbak, jangan duduk di situ mbak..”,

“Oh ya pak, maaf..saya khilaf..”

Dan setelah berfoto beberapa kali demi serpihan masa yang terabadikan, kita turun di jalan yang berbeda.

Sebenarnya, cara untuk mendaki candi ini dengan benar adalah pengunjung harus berjalan mengitari candi searah jarum jam atau yang dikenal dengan istilah pradaksina. Masuk melalui pintu timur, berjalan searah jarum jam agar posisi candi selalu ada di sebelah kanan, hingga tiba di tangga timur dan melangkahkan kaki naik ke tingkat berikutnya. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga semua tingkat terlewati dan berada di puncak candi yang berbentuk stupa induk.

Untuk apa???

Untuk bisa mengikuti alur jalinan kisah yang terpahat pada dinding candi. Karena di setiap lantai, dindingnya itu berupa relief, saudara saudara... jadi nenek dan kakek dahulu pintar memahat, udah gitu arsitek hebat, karena candi ini merupakan puzzle raksasa yang tersusun dari 2 juta balok batu vulkanik yang dipahat sedemikian sehingga saling mengunci (interlock).

Waduuh, udah gitu satuan panjang yang digunakan untuk membangun Candi Borobudur adalah tala yang dihitung dengan cara merentangkan ibu jari dan jari tengah atau mengukur panjang rambut dari dahi hingga dasar dagu. Saya yang membayangkannya saja sudah kelabakan, apalagi dulu buatnya kayak gimana gitu. Presisinya itu bisa pas. Padahal nggak bisa dilihat dari atas, khan belum ada helicopter dulu...

Saya terkagum kagum sekali lah pokoknya....keren tak terhingga.

Dan seperti yang dilangsir di Yogyes, Borobudur tidak hanya memiliki nilai seni yang teramat tinggi, karya agung yang menjadi bukti peradaban manusia pada masa lalu ini juga sarat dengan nilai filosofis. Mengusung konsep mandala yang melambangkan kosmologi alam semesta dalam ajaran Buddha, bangunan megah ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni dunia hasrat atau nafsu (Kamadhatu), dunia bentuk (Rupadhatu), dan dunia tanpa bentuk (Arupadhatu). Jika dilihat dari ketinggian, Candi Borobudur laksana ceplok teratai di atas bukit. Dinding-dinding candi yang berada di tingkatan Kamadatu dan Rupadatu sebagai kelopak bunga, sedangkan deretan stupa yang melingkar di tingkat Arupadatu menjadi benang sarinya. Stupa Induk melambangkan Sang Buddha, sehingga secara utuh Borobudur menggambarkan Buddha yang sedang duduk di atas kelopak bunga teratai.



Dan setelah saya mengatamkan rasa kagum saya, kita bertiga sepakat untuk segera turun karena senja sudah menanti. Dan turunnya pun tetep...macet.



Katam.

Tapi ini bukan akhir dari perjalanan kita di candi ini. Bila orang kebanyakan tahu candi Borobudur ini hanya candinya saja, ternyata masih ada situs situs menarik dan tempat menarik di dalam areal candi yang sayang kalau dilewatkan.

Dan kali ini langkah kita memandu kita untuk keeeee...................



Museum macam apa ini????






Khan tadi di dinding candi banyak sekali relief yang sampai berjumlah 2672 panel relief, khan..nah itu bukan hanya sekedar nenek dan kakek iseng iseng nggambar, bukaaan....

Relief yang terpahat di dinding candi terbagi menjadi 4 kisah utama yakni Karmawibangga, Lalita Wistara, Jataka dan Awadana, serta Gandawyuda. Selain mengisahkan tentang perjalanan hidup Sang Buddha dan ajaran-ajarannya, relief tersebut juga merekam kemajuan masyarakat Jawa pada masa itu. Bukti bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia adalah pelaut yang ulung dan tangguh dapat dilihat pada 10 relief kapal yang ada. Salah satu relief kapal dijadikan model dalam membuat replika kapal yang digunakan untuk mengarungi The Cinnamon Route dari Jawa hingga benua Afrika. Saat ini replika kapal yang disebut sebagai Kapal Borobudur itu disimpan di Museum Kapal Samudraraksa.

Nah, di museum itu yang menjadi tujuan kita selanjutnya,

Banyak sekali barang barang peninggalan kapal yang bisa diangkat, dan juga pernak pernik lainnya. Kalau penasaran, coba ke sana dan buktikan sendiri kehebatan nenek moyang kita.

Dan yang tak kalah kerennya adalah museum yang menyimpan replika Kapal Samudraraksa. Macam begini...

Di setiap sisi dan sudutnya pun banyak sekali kisah yang mengulas tentang asal mula kapal ini, sampai pembuatan replika dan akhirnya disimpan di sini. Ada foto Bu Mega sedang meresmikan replika kapal ini juga.





Nah, ini bapak penjaganya ramahnya luar biasa. Begitu kita masuk, beliau langsung bercerita tentang seluk beluk kapal ini. Beliau juga menceritakan kisah kisah mistis seperti layar yang sudah hilang, eh, kok bisa pulang sendiri, lalu tentang air yang katanya setiap malam tertentu masih menetes di sela talang di pinggir kapal itu.


Sayangnya, keramaian museum ini dengan keramaian candi tadi berbanding terbalik. Bahkan, kita bertiga adalah pengunjung satu satunya. Yang lainnya lebih memilih bukit Dagi dan mungkin mengitari areal yang memang luas sekali. Jadi, kalau ke sini, coba menggali sejarah candi dengan mengunjungi museum ini.


Sebenarnya, masih ada satu museum lagi. Hanya saja, karena Tata sudah capek, kita hanya lewat saja. Dan jalan keluar itu jauh lebih jauuuuh daripada jalan naik ke stupa induk di atas. Jalannya berkelok kelok karena harus masuk pasar dengan puluhan penjual oleh oleh dari baju, replika stupa, gantungan kunci sampai ulek dan coek juga ikut berpartisipasi.






Nah, di belakang saya ini ada segrombolan bule tetapi pakai bahasa nya saya nggak ngerti karena bukan bahasa Inggris. Spanyol mungkin, dan saat melewati ibu ibu penjual minuman dan kedai, Ibu beraksi dengan gagah berani.

“Mister coconut mister good sit mister, coconut sit mister..mister coconut sit!”

Semangat ibu penjual! Alloh pasti beri jalan!

Dan akhirnya setelah jalan panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang sekali, sampailah kita di mobil semula.

Saya beli apa?? Jelas dong....nggak beli apa apa. -______-

Bahkan dompet dan hape pun saya nggak bawa. Saya Cuma bawa diri sama si kaniko saja. Puahahaha...
Dan karena bulek baik hati, tidak sombong, dan suka berbagi, saya kebagian rok panjang bermotif abstrak kembaran. Asoy sekali.

Dan perjalanan pun dilanjutkan!!!

Belum...ini belum berakhir, karena masih ada satu candi lagi yang harus kita kunjungi.

Candi Mendhut!!! Candi ini terletak sekitar 3 km arah timur dari Candi Borobudur.




Di candi Mendhut ini, ada satu bongkahan candi besar dengan satu patung Budha dengan siraman lampu kuning di dalamnya. Ini adalah singgasana Arca Buddha Raksasa! Prasasti Kayumwungan yang ditemukan di Karangtengah menyebutkan bahwa Candi Mendut dibangun oleh Raja Indra dari Dinasti Syailendra. Candi berbentuk persegi empat dengan atap bertingkat yang dihiasi stupa-stupa kecil ini dibangun lebih dulu daripada Candi Pawon dan Candi Borobudur yang terletak dalam satu garis lurus. Berbeda dengan Candi Borobudur yang menghadap ke arah matahari terbit, maka pintu masuk Candi Mendut menghadap ke arah barat.

Karena hari sudah senja, kita tidak masuk ke dalamnya, tetapi kita masuk ke sini.



Karena Om berkeyakinan Budha, Om dan tante menyempatkan diri untuk berdoa di sebuah vihara dengan patung Budha tidur miring berselimutkan kain berwarna kuning.


“Kita berdoa menghadap patung bukan berarti kita menyembah patung, bukan...melainkan patung ini sebagai media untuk menyatukan konsentrasi dan fokus. Tapi tetap kita menyembah Tuhan, bukan patung..patung hanya sebagai perantara saja...”

Dan bila dicermati,kita sholat menghadap kiblat, menghadap ka’bah. Apakah kita menyembah Ka’bah? Jelas bukan. Ka’bah dan kiblat hanya sebagai titik fokus saja, untuk memfokuskan konsentrasi dan menyeragamkan saja. Seperti kalau Kristen menghadap patung Jesus. Hanya perantara saja.

Dan tentang keyakinan mana yang meyakinkan, itu hak setiap insan manusia.

Vihara ini juga bertaman dengan patung patung Budha di beberapa sudutnya. Karena remang remang, Kaniko tidak bisa menjamah setiap patung dan pemandangan dengan maksimal.

Letih menyergap, dan kita memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja dan beristirahat di salah satu hotel di bilangan Malioboro. Horeeeee....

Dan itu pun belum berakhir ternyata....

Alun Alun Selatan menanti!

To be continued

Tiket Masuk Candi Borobudur :

Wisatawan domestik atau pemegang KITAS: Rp 30.000
Wisatawan domestik anak-anak: Rp 12.500
Wisatawan mancanegara: USD 15
Wisatawan mancanegara dengan kartu pelajar: USD 8

Tiket masuk kapal di Museum : Rp. 100.000

Tiket Masuk Candi Mendhut :

Wisatawan domestik: Rp. 1.800 (untuk Candi Mendut dan Candi Pawon)
Wisatawan mancanegara: Rp. 3.300 (untuk Candi Mendut dan Candi Pawon)

References :


Meykke Santoso

I'm a passionate teacher, an excited blogger, a newbie traveler and a grateful wife. Nice to see you here! I write for fun. Please, enjoy!

Assalamualaikum wr wb,

Terimakasih sudah mampir ke sini ya... Yuk kita jalin silaturahmi dengan saling meninggalkan jejak di kolom komentar.

Terimakasih .... :)

  1. jadi habis jalan2 ke kota gue nih? seru kan yak? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyeee...owh, ini kota lo ya?? behehehe..seru beuuut

      Hapus
  2. kalo jalan2 ajak2 atuh :" hiks ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang kmu dimana to Maz..Maz..dari kemarin kek nya pgn jalan jalan banget..hehehe

      Hapus
  3. Elu emang hobinya jalan-jalan yah Mey? Perasaan postongan lu sebagian besar tentang perjalanan deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe....iya hoby, alhamdulillah ini lagi ketiban rejeki jalan jalan mulu Rob, doain bsok2 ketiban terus yak :D

      Hapus
  4. yaaa yaa bikin irii ih, kemaren ke jogja ga sempet mampir situ :(

    BalasHapus
  5. Kagum juga sama krja keras yg bikin candi itu. Secara dulu blm ada kompi, blm ada helikopter. Gmn caranya ya?

    Om kamu budha mey? Om dari pihak mana?

    BalasHapus
  6. Kagum juga sama krja keras yg bikin candi itu. Secara dulu blm ada kompi, blm ada helikopter. Gmn caranya ya?

    Om kamu budha mey? Om dari pihak mana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya makanya cc Risah aku jga nggak habis pikir.

      Hehe, iya, dari saudara suaminya adiknya Ayah @.@

      Hapus
  7. seru emang kalo yang namanya jalan-jalan, saya juga pernah kena marah dduk dipinggiran stupa :D

    BalasHapus
  8. waaah enak yah yang ke candi borobudur, gue nggak pernah kesana. Jadi pengen juga ??

    BalasHapus
  9. sama sekali belum pernah ke jogja, mungkin gue terlalu kampungan ke borobudur ajah belom :(

    nenek moyang kita emang seorang pelaut yh, buktinya kapalnya masiih ada.

    BalasHapus
  10. Foto yang pertama itu kelihatan anggun banget. Ahaha...

    BalasHapus
  11. jalan-jalan lagi... aduh asyiknya :D

    BalasHapus
  12. 300 tahun sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 400 tahun sebelum katedral-katedral agung di Eropa!!


    beneran

    emang Indonesia itu cocoknya jadi kontraktor kayak gua

    BalasHapus
  13. Asik asik banget fotonya, KEREEEN ~ gue pengeen banget kesana tapi belom dikasi kesempatan, mungkin suatu hari ~

    BalasHapus
  14. Dulu waktu ke borobudur blm ada kainnya gitu u,u
    kak mey ini hobi sekali jalan-jalan ya?

    BalasHapus
  15. asiik artikel jalan jalan lagii...
    mupeng gue =w=

    BalasHapus
  16. Wah, keduluan nih. Saya udah ke sana kemarin, tapi belum sempat nulisnya. Hehe.

    Museumnya kemarin belum disinggahi:(

    BalasHapus
  17. Kereeen... Mey mungkin suatu saat kita bisa kaleee backpacking barengan... :D kamu tinggal di manaaa??

    betewe bagus deh tulisanmu mendetail, jadi kangen borobudur...

    BalasHapus
  18. Ngomongin borobur tuh paling kagum sama arsiteknya. Badai lah pokoknya!

    BalasHapus